November Part 2
“Kadang kamu perlu spontanitas dan hal tak terencana dalam sebuah rencana”
Sepanjang karirku menjadi anak-maha, hampir semua hal yang direncanakan berujung pada kegagalan. Di sini saya jadi kurang paham. Begitu pula sebaliknya, sedangkan hal-hal yang spontanitas atau tak terencana kerap kali berhasil.
Dua minggu berlalu setelah curhatan panjang sampai pagi pada malam bulan oktober. Bagiku nggak ada salahnya dan nggak bermasalah sama sekali. Akhirnya aku meng-iyakan usulan Rusdi yang berniat memperkenalkanku dengan Nova. Well, setelah itu, sama sekali tak ada pembicaraan lebih lanjut. Sepertinya si kawan punya pengalaman yang sama dalam menyusun sebuah rencana atau malah berubah pikiran. Bisa jadi.
Senin pertama bulan november. Di depan pintu keluar, tiba-tiba terdengar lirih nada dubstep-nya MrFijiWiji yang hampir tertelan keramaian. Duh lupa mode silent. 20.44. Yap, nada dering telpon. Bukan Whatsapp, skype, ataupun YM.
“Ya…”
“Posisi?” tanya Rusdi di telpon
“Bandara”
“Uda ganti profesi jadi gembel bandara sekarang?”
“Aaak… lagi njemput Yungky”
Yungky, partner maen dota 2. Seorang pemuda asal jakarta, saat ini sedang frustasi karna startup-nya mandeg setelah 2 tahun. Situasi sekitarku sebulan ini dalam status kelam. Kabar seorang cewek berusaha bunuh diri dan seorang kawan dalam kondisi frustasi dan semoga tidak mencoba tindakan yang sama. 3 tahun lalu dia berkelana ke Jogja dan bikin sebuah startup tentang media. Kecilnya ruang lingkup web developer, akhirnya secara nggak langsung kita ketemu. Untuk menunjukan niatan baikku terhadap masalahnya. Aku saranin dia buat main lagi ke Jogja. Dia sama Rusdi belum pernah ketemu, cuman sering banget main dota bareng.
“Sini ke tempat biasa, aku traktir”. Langsung bergairah mendapatkan traktiran, aku bilang ke Rusdi sekalian tak ajak si kawan yang selanjutnya di-iyakannya. “86 komandan”, end conversation. Eh… Aku telpon lagi Rusdi, lupa nanyain nomor meja. “12” jawabnya dongkol.
Kurang lebih 30 menit berlalu dari bandara menuju TPK tempat anak-anak ngumpul. Begitu sampai, kata jamak “anak-anak” Rusdi yang saat ini duduk di meja nomor 12 berjumlah 5 orang. Jika di tambah dengan aku dan kawan dota maka total 7 orang. Berlawanan arah jarum jam ada Nuri, Rusdi, Ardian, Hanan, dan seorang cewek putih kurus bermuka pucat. Setelah ku perkenalkan Yungky aku tos masing-masing dari mereka dan berakhir pada cewek bermuka pucat. Khusus buat dia yang terakhir, aku jabat erat tangan kurus dia agak lama kemudian bilang:
“Jangan bilang kalau kamu Yuli, pacar misterius Hanan yang eksistensinya masih dipertanyakan?” Hanan tetangga Rusdi asal medan, ngaku punya pacar tapi nggak pernah di kenalin. Cuma Nuri yang tau wujudnya. Entah konspirasi atau semacamnya, hal tersebut dikarenakan Hanan selalu jadi objek lelucon Ardian. Ah, sudahlah.
“Ngawur, itu si pacar coy!”. Begitu Ardian berkata “Si Pacar”, aku blank sejenak. Oh, ini Nova. Teringat malam curhatan panjang saat Ardian ngira aku ngajakin berantem. Singkat cerita, Ardian pernah naksir dan ditolaknya. Kemudian mereka berakhir jadi temen aka friendzone dan setuju untuk memanggil satu sama lainya dengan kata “pacar” tanpa ada hubungan romantisme.
Awkward moment.
“Eh… maaf..” buru-buru kulepas jabatan tangan. Sedikit terbata berusaha menutupi sikap canggung “Aa..di mana sopan santunku. Aku Irsyad. Ini kawanku dari bandara, Yungky”
“Nova” jawabnya sambil menjulurkan tangan ke Yungky.
“Yungky” balasnya sambil duduk disamping Nuri. Mau nggak mau aku harus duduk di sebalah Nova
“Bandara? bandara mana bro?” sahut Ardian dengan nada mempertanyakan
“Eh, dari bandara mana tadi?” lanjutku
“Halim” jawab Yungky singkat
“Nggak di sukarno-hatta toh?” begitu ku lanjutin, Hanan yang dari tadi diem tiba-tiba cekikikan
“Apa sih?” sahutku dengan tatapan aneh ke Hanan
“Keliatan banget kau Syad” jawab Hanan sambil menyentuh keningnya dan diteruskan oleh Nuri dengan kata “Parah” yang berarti menandakan persetujuannya dengan Hanan. Serempak semua mata tertuju padaku dengan tatapan aneh. Ok, aku gagal dalam usahaku menutupi sikap salah tingkahku. Dalam pikiranku timbul pertanyaan: perlukah aku belajar cara mengontol emosi?
Obrolan standarpun berlanjut. Nggak terdengar jelas apa aja pembicaraan mereka atau memang nggak mau mendengarkan. Masuk ke dalam imajinasiku sambil observasi mereka satu per satu. Yungky, tipikal pendiem tapi gampang bergaul. Dengan canggung dia mencoba masuk ke dalam topik obrolan ini dan berujung sukses jadi dukun curhat. Hanan yang biasanya pasif, sekali masuk, hanya adu mulut dengan musuh abadinya: Ardian. Terjadi dua kubu masing-masing kubu Hanan vs Ardian. Dalam imajinasiku kondisi ini adalah medan perang layaknya battle of cannae. Dengan Nuri dan Rusdi ada di kubu Hanan, Yungky ada di kubu Ardian. Nova? Dari tadi hanya terdiam, terlihat jelas dari bahasa tubuhnya bahwa dia bosan. Terpikir untuk mencoba membuka percakapan. Memilih topik, membuat flow-chart, menghitung probabilitas. Design percakapanku dengan Nova dalam imajinasiku berlangsung sempurna. Ketika mencoba eksekusi. Tiba-tiba timbul pernyataan: Hey, kamu kan nggak kenal dia!. Seketika hancur design percakapanku dengannya.
“Cie… sepasang burung dara ini diem aja dari tadi” celetuk Nuri memaksaku keluar dari imajinasiku. Hanan, tanpa kata menyodorkan lilin yang ada di hadapannya ke arahku.
“Eh, toilet sebelah mana ya?” tanyaku sebagai tanda ngeles. Beberapa kali datang ke sini dan masih bertanya di nama toilet
Terdengar nada kekecewaan mereka terhadapku. Hanya Yungky yang terlihat bengong. Beranjak ku dari tempat duduk tanpa kata menuju toilet. Ah, Bebas!
Kembali kutegaskan pada diri sendiri bahwa keberadaan kami di sini untuk Nova. Membantunya melewati dan mengatasi hal-hal buruk yang dialaminya beserta efek sampingnya.
Sekembalinya dari toilet aku lihat Nova dengan semangat dan aktif berbicara sama anak-anak. Hmm, sepertinya mereka sukses tanpaku. Akupun tersenyum berjalan menuju tempat mereka.
“… yang mana sih Nov? cowokmu gonta-ganti mulu, baru ini bikin kamu jadi kek gini” mulai terdengar suara Nuri saat aku udah dekat. Wtf… ni cewek player! tapi kok bisa gitu?. Pikirku sembari duduk di tempatku semula. Ah, ternyata masih obrolan curhat. Aku pikir mereka berhasil, ternyata pangalihan untuk boosting semangat dan memancing Nova untuk ngomong. Nggak buruk kok.
“Kan kamu pernah kukenalin pas main badminton itu loh” jawab Nova
“Terus, kalo dibandingin sama Irsyad cakepan mana?” langsung tersendak aku dibuatnya. Kenapa sih Rusdi pake nanyaain kek gitu, pas aku lagi minum lime squash pula. Parah! Seketika mereka tertawa.
“Cakepan dia jauh lah dari sisi manapun” Ucap Nova sembari matanya tertuju padaku scaning dari ujung rambut sampai ujung kaki.
“OK. Terimakasih atas pujianmu Nova” balasku tanpa pikir panjang. “Tapi bukankah menurutmu penilaianmu itu terlalu subjektif? Mengingat apa yang baru kamu lalui”
“Bener kok mas, kalo nggak percaya tanya tuh Nuri. Dia uda pernah ketemu kok” katanya tegas sambil melihat ke arah Nuri
“Mas…?! Kamu kira aku mas-mas tukang becak hah?” balasku dengan nada kesel
“Bernama Irsyad, itu aku by the way. Hai” lanjutku sambil kembali memperkelkan diri untuk kedua kalinya.
“Ah.. Nova” jawabnya acuh
“Tapi beneran kok cakepan kamu, ya kan Nur” dengan intonasi yang ditekankan sembari melihat ke arah Nuri meminta persetujuan
“Beneran loh Syad. Objektif ini” disetujui oleh Nuri
“Tuh kan.. objektif!” tegas Nova
“Hmm… jadi emang lebih cakepan aku…” pause “kalo gitu mending kamu jadi pacarku aja” balasku sambil megarahkan pandang ke Nova. Begitu terlihat reaksi kagetnya, secara otomatis arah pandangnya tertuju padaku dan tatapan mata kami pun bertemu. look me in the eyes kata Juggernaut. Seketika kugenggam tangan Nova yang nganggur.
“HAAA..?!”